Thursday, December 20, 2012

Seni Sebuah Penantian


Penantian perlukan seni, dan aku pelajarinya dengan cara yang payah.

Ah, mungkin akan aku digelakkan. Bodoh, jumud atau sebagainya. Ya panggillah. Aku sedia menerima kerana akan kupulangkan juga buah keras.

Aku pernah menanti - dan ia satu seni yang payah. Cuma percayalah, hasilnya memuaskan dan mendamaikan.


Kamu tahu sendi seni sebuah penantian? Ada banyak rangkanya - aku boleh ambil realisme yang kononnya tampak hidup tetapi kaku semata atau impressionisme yang laju menokak arus semasa, mempedulikan kata dan standard manusia. 

Hah, mungkin aku dikatakan dangkal. Tetapi aku tinggalkan semua, kerana seni penantianku bersendikan cinta - yang diletak kepada Pemilik Cinta.

Penantianku panjang, dan ya seperti yang kaukata penuh ranjau. Terkadang nafsu dan syahwat menceracak naik memulas iman dan taqwa kerana sungguh aku manusia teman! Tetapi syukur, Tuhan masih mengizinkan aku berlandaskan titah syariatnya kerana aku, bersama buah penantianku, kepinginkan cahaya di hujung landasan.

Cahaya cinta dan rahmah. Cahaya iman dan taqwa. Cahaya rasul dan wajah-Nya.

Aku insaf, manusia punya idea. Aku, malah kami, punya idea. Idea bersampul mimpi dan impian sebelum dicetak kepada perbuatan harus ditapis lembaga iman. Takut-takut kelak idea yang kita mimpikan itu mengheret ke neraka Tuhan yang abadi. Aku takut itu teman. Takut sekali.

Kerana itu, aku memilih penantian berseni - ya, seni. Ketekunanku, kesabaranku dan ketabahanku semua diambil kira. Sebelum catan itu dicalitkan ke kanvas kehidupan terkadang aku sangsi, tetapi itu satu proses seni. Warna indah terpilih terkadang aku muak membenci, tetapi gabungan dan lakarnya kelak aku yakin, walaupun aku tidak tahu, akan membuah hasil. Kalau comot, segera akan aku sedar, aku tidak mahu hasilnya begini. Cepat aku perbetul, tidak mahu ia terheret melanggar perspesi membejat hasil seni.

Nah, kini seni penantianku terhasil kepada sebuah lakaran kehidupan. Syurga dunia yang terkadang goyah - tetapi aku berdoa akan kembali dinaung bahagia kerana asasnya ditampung inginnya pada syurga abadi. 

Sudah kubilang, penantian itu berseni. Mahukah kamu luangkan masa kini untuk pelajari dan alaminya?

Ibu Berkisah.

Cerita ini Ibu kisahkan, tidak lama dahulu - mungkin sebelum terlepas terbang ke bumi penuh peluang ini. Atau mungkin lagi awal.

Kata Ibu, kisah ini berlaku sewaktu saat dia dan Ayah mentah dalam membina keluarga di ibu kota.

(Ingatan itu mula berambal-ambal datang kini) Saya ingat sewaktu itu, saya sedang memandu dan ibu di sebelah - jauh dia memandang ke permandangan luar yang dihiris-hiris titis-titis hujan tropikal.

Ibu bercerita, waktu itu adik saya yang pertama (saya anak sulung, jadi kami baru berdua) baharu dilahirkan. Ibu, Ayah, adik perempuan saya dan saya yang kedua-duanya masih lumpuh mengenal dunia - saya mungkin  baru mencecah dua tahun, dan adik perempuan saya kemungkinan baru berbulan mendiami dunia - pulang daripada Hospital mengambil suntikan imunisasi.

Waktu itu, Ayah, mungkin belum mampu atau belum punya lesen, tidak mempunyai kereta. Berharapkan sebuah motor kapcai Yamaha ke hulu ke hilir melaksanakan tugas seorang ayah. Saya masih ingat, saya suka membonceng motor bersama Ayah dan antara tabiat saya ialah melepaskan selipar sewaktu ayah menderu dengan motornya. Ayah akan membuat pusingan lalu mengambil selipar saya yang tergeletak di atas jalan raya, bukan sekali, kadang-kadang berkali-kali - dan Ayah akan terus melayan. Terima kasih Ayah.

Tetapi bukan itu yang ibu ceritakan. (kisah bersambung) Menurut ibu, waktu itu, dalam perjalanan pulang hujan lebat kota raya deras menimpa kami. Ibu, Ayah, saya yang berusia dua tahun, dan adik yang berbulan. Kami berempat beranak terus meredah jalanan kota dengan sebuah motor sehinggalah bantuan Tuhan melalui insan yang penuh belas tiba.

Ini yang saya mahu kongsikan. Ibu berkisah, ada sepasang suami isteri (mereka menaiki van) mempelawa ibu dan adik saya untuk menaiki van mereka - dan menurut Ibu, beliau dan adik dihantar sampai ke rumah.

Dalam redahan hujan sewaktu ibu mengisahkan kisah ini - sempat saya mendoakan pasangan yang ikhlas menolong kami waktu. Dan waktu hujan, mustajab bukan? insyaAllah.

Manusia, kebaikannya kadang tidak tersangka!

Monday, December 3, 2012

My Artistic Journey

I have always been into art.  I started to draw as early as I started to read, probably around three year old-ish. No, I don't remember.

Still, the main point is I quite have an artsy bitsy finger I told you. I love to draw, sometimes paint. But most of the times I just let my drawings uncolored - because I am suck at it.

Yeah, my works were always half done. I drew magnificently (allow me to use a parabolic expression here) in all its grandeur and majesty then when it starts to coloring, I would erase my pencil drawing here and there since it was just too much, or too complicated to be colored.

I was so into comic and anime, maybe from my third grade, and it lasted until my third former I guess. My major influence at that time was GEMPAK and its branches mags like UTOPIA and stuffs. I would draw everywhere, in my notes, on my desk, on the chalkboard, on the exam paper when I didn't know what else to do - doodling had really become my routine.

I tried, to draw and made it my forte. I self-taught myself by internet and the tutorials in the GEMPAK, and also do some imitations either a re-draw or a mere trace of the illustration. I even bought special inks and pens for me to draw which in that time costs several days of my pocket allowance. But I don't mind - to see a complete drawing of mine - along with some approvals from my mates, satisfied me.

But the long days of idling after PMR has introduced me into a new world - the other side of art. I have been engrossed with the visuals, now the words that dance around forming a vivid imagination of the world that the book invites me in - captured me and my attention. Don't get me wrong, I always love to read. But before this, reading is a channel for me acquiring knowledge that is not accessible for me in the formal classes. Now, reading has provided a value - inevitable value that moves smoothly and rather dramatically in the fold of history in humanity.

Words, be it in speech activity or writing has redefined my new interest. Not to say my participation of debate and orating, but that really teaches me something about the power of words, the ideas conveyor and how efficient it is, at least for me, to be struck in awe. To be honest, it was not really the first time I dived into the colorful world of words. My first attempt, I guess that incorporated both my interests in words and drawings was when I was in standard six. I wrote a few chapters of a fiction novel, and drew by myself of the world that I imagined it to be. Some friends praised my work, but well, the work is never done.

Thanks to prolific and distinguished writer like Faisal Tehrani and later Anwar Ridhwan, I started to write. Now it's not just factual essays of arguments and corollary -it goes beyond that, in fact it encompasses that. I found confidence in conveying my ideas through a chain of narratives, or sometimes just for sake of creativity and challenge.

I just wrote during my fourth and fifth form, from skits of lives of my friends (and some but rarely are mine) and make it into a new story. Apparently, I still do that in many of my narratives. Some are just description of events, or some ineffable feeling that I had in myself while some are careful, with a mix of freestyle writing that even I don't know the ending - only a particular plot and a particular message. Usually the writings are the blend of those elements aforementioned.

Yet, I am not always so good in writing creative narrative in English, partly because I used to write in debates and partly because I don't know, maybe I was trying to hard. My attempt to write a narrative was in  my mid-year exam when I was in form Five (back in 2008). I wrote an essay from the single-word essay question, ADULT. That, I extended my creativity writing about an infant view of the adult world - the responsibility, wars and stuffs only to get quite a negative remark from my teachers. The grammar was all messed up and according to my English teacher, "light-headed" (seriously, until now I don't even know what's that supposed to mean. My moral had been crushed so bad I did not mind to ask I guess).

Until one time, as a practice for my essay I wrote a narrative out of question in an exercise book (I don't know where I got the book, probably I borrowed it from someone else). It was a narrative, and it was about an experience of a kidnapped girl who turned out to be Nurin Jazlin Jazimin (this story was written before her body was found being treated horribly by an unscrupulous man. Al Fatihah). The stories of kidnapped girl was so hot that times and the narrative seems relevant. I submitted it to my English teacher, and it was a yay. That really has escalated me.

Long story short (I know it's already long, pardon me), I somehow really have confidence in my writing - especially those of creativity. I intend to write a novel, but the problem is, I want it to be distinguished. I resisted to be contributor of the flooding love-story cliches out there. I want it to be philosophical and intellectual in its whole worldliness. A journey of struggled soul in this world of uncertainties.A recorder of ideas.

Sounds big huh? Maybe I should start little :/ But I was really inspired by Faisal Tehrani and Buya Hamka who has and had brought literary values to  a new level. Maybe not so new, since philosophers of post modernist like Nietzsche and many more have really conveyed their ideas through a series of narratives. Not to say that my piece will be of that level - but I should aim high right?

Pray for me :)

Syahadah

"Kauingat, saat kali pertama mengungkap syahadah? Apa rasanya?"

Rasa yang khali mungkin, dan mustahil itu yang kauluahkan. Kau hanya mendiamkan diri, membiarkan soalan itu hilang dalam deru laju kereta.



.



Kauingat? Saat kali pertama kaumengungkap syahadah?

Monday, November 26, 2012

uğur böceği (Kumbang Nasib Baik)

Ah, perkara ini memang merunsingkan.

Dahulu, dia pernah jelas akan perkara ini. Sangat jelas, walaupun dia arif benar jalan seni reka grafik ini kemuncupnya banyak. Kemuncup aurat dan objektifikasi wanita yang sering melekat pada kanvas karier seorang perekabentuk grafik - Graphic Designer bak kata orang atas angin, tempat asal dia menuntut dan mendalami ilmu ini.

"Abang, belum mahu tidur lagi?" isterinya menerpa dari pintu pejabat rumahnya. Skrin iMac 27-inci-nya itu memantulkan refleksi seorang insan yang melakari hidupnya dengan warna-warni ceria dan cinta.

"Belum lagi, ada sedikit tugasan perlu disiapkan. Awak tidurlah dahulu," Balasnya dengan nada sugul. Isterinya jelas memahami, dan lekas memberikan privasi yang dituntut.

"Baiklah bang, ingat ya, walau apa kita buat, biar Allah redha. Dari situ, berkatnya bertambah dari arah yang kita tidak ketahui," balas isterinya membiarkan pintu ditutup rapat sedikit. Beberapa tapak dia melangkah, isterinya menoleh. Jelas cahaya kebiru-biruan terpancar daripada ruangan halus pintu tersebut.

Kata-kata itu pantas meresap ke dalam hatinya. Kuasa cinta mungkin - yang berlandas cinta Ilahi - memancarkan ilham baru buat perekabentuk grafik muda itu. Namanya sedang melancar naik di persada grafik tanah air - gara-gara prestasi yang memberangsangkan ketika menuntut di Amerika Syarikat dahulu. Akid Iman - pernah beberapa kali tertampil keluar di surat khabar tempatan. Rekaan grafiknya memang menyuguh minda, dan dia tidak penah tewas kepada jalur utama media yang sering menjadikan wanita sebagai objek tarikan seksual.

Katanya dahulu, itu rekacipta dangkal. Baginya rekacipta haruslah bersifat islami - dan islami tidak pernah kering mahupun suram. Bukalah al-Quran dan kita akan pantas tertarik kepada keindahan bahasanya. Lihatlah alam lalu hati ini mudah sayu dan tunduk dalam kekaguman saat kita melontarkan pandangan. Pesan Nabi SAW, Tuhan itu indah, dan sukakan keindahan.

Nah, seni bukan sesuatu yang asing dalam islam. Seni itu islami, tetapi hari ini dek pengaruh budaya barat yang obses akan kecantikan superfisial - umat islam tewas dalam persaingan merebut ruang kreativiti. Dia jelas, gara-gara kita tunduk melayu kepada kononnya gahnya barat, kita jadi mandul. Mandul dalam produktiviti, dan tumpul pula dalam kreativiti.

Maka, dia tekad. Saat dia beroleh peluang mendalami seni reka grafik, dia kebalkan minda dan benteng pula ia dengan fahaman seni yang islami. Bahawa Allah itu indah dan sukakan keindahan. Tetapi yang bagaimana? Yang menurut perintah-Nya tentu. Bukankah, berulang kali diingatkan dalam Al-Quran yang punya hati-hati manusia itu Allah jua?

Maka dia mendalami satu demi satu teori dan harmonikan pula dengan prinsip-prinsip asal islami. Hasilnya, karya Akid memberikan nafas baru, karya yang menyuguh minda dengan indahnya ciptaan Tuhan. Dia lantas akur dan insaf - bahawa umat Islam itu wajib kreatif, perlu juga berhenti mengelak dari bidang yang dikatakan "syaitan" dan "kotor", dan belajar untuk mengurus, memandu agar hasilnya itu islami pada inti dan indah pula pada mata.

Prinsipnya jelas - tiada wanita sebagai objek.

Tetapi itu kisah tiga tahun lepas. Saat eksperimentasi, saat kurang liabiliti. Hari ini dia punya keluarga idaman hati, profesion punca rezeki dan semua itu bermakna lebih liabiliti. Selesai menunaikan Pengajian Sarjana di universiti idamannya di Carnergie Mellon Universiti, dia pulang dengan seribu satu harapan, dengan segulung ijazah dan sebuah reputasi. Malangnya sikit pula dia dihargai. Mujur dia punya isteri yang faham selok belok hati dan dengan itu kecekalannya meninggi.

"Akid, saya mahu awak uruskan iklan ini untuk pasaran Eropah dan Amerika Syarikat. Katanya mahukan penjimatan kos jika melantik syarikat kita, ini peluang besar untuk awak dan syarikat kita," proposal diluncurkan di atas meja oleh pengarah syarikat konsultasi media ternama tanah air, Encik Badrul. "Kalau berjaya, pulangan awak besar Akid. RM 250 000 sebagai permulaan dan saya arif benar potensi awak dan rasa awaklah yang paling layak, cuma, don't take me wrong saya hormati prinsip awak Akid, tetapi klien ada beberapa spesikasi yang mereka tuntut antaranya penggunaan wanita,"

Saat itu prinsipnya teruji. Antara liabiliti dan hati - dia harus memilih dan pilihan itu harus bijak. Kehidupan di Kota Raya merupakan satu ujian, dan soal kewangan tidak pernah memberi belas kasihan. Tidak, bukan dia tidak bersyukur. Cuma anak keduanya yang bakal lahir dalam tujuh bulan lagi perlukan perhatian daripada segenap aspek. Tugasnya sebagai seorang bapa, mahu mencari rezeki yang halal untuk keluarganya, dan beberapa kali dia menyelusup pintar, melepaskan dirinya daripada beberapa kerja yang dipandangnya melanggar prinsip.

Cuma kali ini, berselang amaran keras daripada Encik Badrul, "..dan awak beberapa kali mengelak. Saya nasihatkan kalau awak tidak mampu lebih baik awak, err cari kerja lain Akid. Your choice, or mine," kata-kata itu menerjah laju, beserta sekali imej isterinya, anak sulungnya dan... imej hitam beserta jalur-jalur kuning, imej ultrasound permata hati yang bakal lahir kelak.

Lamunannya mati andar. Kembalinya dia kepada realiti - dunia grafiknya - bertemankan cahaya biru keputihan daripada skrin iMac itu dia melayani malam yang esoknya menjanjikan entah apa-apa. Dia menyelak fail yang diberikan. Syarikat kereta ternama antarabangsa. Apa yang dimahukan model wanita berpakaian merah dengan model kereta berwarna merah. "Ah, ini sampah!" dia menyumpah dalam hati. "Usah dibazirkan duit melantik media konsultan jika secetek ini iklan yang dimahukan," Kepalanya bertambah pusing, dan gelas yang dipenuhi separuh kopi itu dipandangnya lama.

Dia bingkas bangkit dan menuju ke bilik air, saat ini, hanya satu yang mampu dilakukan. Tuhannya yang maha Pendengar menanti.

Usai solat malam memohon petunjuk, dia kembali ke medan kerjanya. Dikecilkan tetingkap Adobe dan dibuka pula Microsot Word. 

Perlahan-lahan dia menaip, "Two Weeks Notice Resignation,"

Pesan isterinya berlingkar di kepala, "walau apa kita buat, biar Allah redha. Dari situ, berkatnya bertambah dari arah yang kita tidak ketahui,"

***

Encik Badrul membuka sampul di atas mejanya. Jelas tertera namanya, dikoyakkan perlahan-lahan dan dibuka lipatan surat untuk mengetahui isi surat itu.

"Two Weeks Resignation Notice" benar-benar menggamit perhatian Encik Badrul, "Awak sudah fikir masak-masak Kid? Ada masanya awak perlu berpijak pada realiti, bukan sekadar menjunjung idealisme yang tinggi menjulang," 

Akid tunduk. "Saya juga sudah siapkan projek yang Encik Badrol berikan." Encik Badrul termangu sebentar, wajahnya berkerut sedikit dan sejeda kemudian dia mula perasan dua keping kertas yang diterbalikkan atas mejanya. "Maafkan saya kerana tidak mengikuti spesifikasi yang dimahukan klien, cuma saya jelas hala tuju dan kerja saya Encik Badrul - tambah pula yang memberi rezeki itu bukannya klien, bukan juga Encik Badrul, tetapi Allah. Allah itu indah Encik Badrul, dan Dia sukakan keindahan,"

Encik Badrul terpinga ditinggalkan. Dia masih lagi memandang karya indah hasil ciptaan pereka muda itu. Benar, pengalaman 20 tahunnya ditundukkan oleh seorang anak muda yang basah fikirannya dengan ilham segar daripada Allah. Encik Badrul jadi insaf.

Di atas kertas itu imej sebuah kereta dibentuk daripada kumbang kura-kura atau ladybug diletakkan dalam posisi yang menarik berlatarbelakangkan alam dengan warna yang dikelabukan. "imej wanita berpakaian merah - ladybugs. Genius!" Terpapar satu tagline di bawah imej tersebut - "Our Earth does not need luck, it needs this."

[klik imej untuk sumber]
Encik Badrul menyelak helai kertas tersebut dan membaca deskripsi yang dikemukakan, "Kumbang kura-kura atau ladybug sering dikaitkan dengan tuah - malah di Turki ia dinamakan uğur böceği yang bermakna 'kumbang nasib baik'. Dalam banyak tradisi pula di Eropah seperti Yahudi atau Yiddish, Polish, Romania, dan Belanda ia dikaitkan secara langsung dengan Tuhan sebagai serangga pilihan-Nya. Di Amerika Syarikat, terdapat kepercayaan bahawa adalah bernasib buruk untuk membunuh serangga tersebut maka sebuah lagu kanak-kanak dicipta untuk menghalau serangga tersebut, bertajuk ladybird, ladybird.



Memandangkan model ini mesra alam dengan fungsi hibridnya dan juga tahan lasak daripada kemalangan, maka imej kumbang kura-kura dipilih lantaran imejnya yang bersih, malah dekat pula dengan Tuhan dalam banyak tradisi. Bukankah ini yang bumi kita perlukan? Dekatnya dengan Tuhan.

Bukankah Allah itu indah dan sukakan keindahan?"

Encik Badrul mula perasan, sekeping kad urusan dikelipkan bersama helaian kedua. Tertera di atasnya:

Akid Iman
Designcipta Imani Sdn. Bhd

Pantas, Encik Badrul menguak pintu pejabatnya. Mujur, Akid Iman masih di petak kubikelnya meluru keluar bersama kotak yang sarat dengan kepunyaannya.

"Akid jangan pergi. Saya tawarkan kenaikan gaji." Encik Badrul meluru, pedulikan ego seorang majikan. Pekerjanya yang ini pasti terlalu berharga untuk dilepaskan.

"Terima kasih Encik Badrul tetapi maaf. Saya sudah buat keputusan. Yes, it could be either my choice or yours, but it's always Allah who decides,"

Akid Iman melangkah keluar penuh yakin. Hari esok pasti memberi harapan baru sepertimana suria terbit menyalakan inspirasi. 

Dan, dia yakin, Allah Tuhannya pasti bersamanya! 

Tuesday, November 20, 2012

Hari Dua DC

Hari kedua di Washington DC.










Bersiar-siar, menggelintar jejak iluminati ( konon, sambil tergelak sakan dan terkenang-kenang isi madah Architecture History 201)




Meredah pameran demi pameran di museum-museum Smithsonian yang maha banyak, dan menarik. Hingga sumpah naik perit rasa di tumit.




Perit yang puas mungkin,walau di hujungnya lelah sudah tidak terangkul di bahu.







Dan makan malam enak atas budi pegawai kedutaan, en Azam.







Indah. Alhamdulillah






Gambar paling DC-ish mungkin?




"Budak kecil" selalu hilang barang. Suatu sarkasme diiring fakta.






I blog with BE Write

Thursday, November 15, 2012

Plan of Action

I woke up yesterday's morning to a timeline full of news about my brothers and sisters in Palestine.

Again, they were bombed cowardly by the Israeli regime. According to Israeli's sources the siege is a retaliation from the 115 missiles that have been launched to Israel so-called territory and wounded and killed some of Palestinians and Israelis.

People might think HAMAS is a militant group that has always put its people of Gaza in danger. And people might think that Israel has a right to defense herself from being attacked.

Pish posh. Israel has been built up illegally, existed out of the blue and has been oppressing the Palestinian ever since. Resolutions by resolutions had been signed by UN to force Israel from expanding her territory and abide by the 1967 border was never been fulfilled and thanks to United States who has been relentlessly  backing up Israel no further actions are taken (except a few wars in 1948 and 1967).

This semester, I am taking Hebrew Bible and it has given me insights of how the Israelis (read: the Zionist Jews) perceive occupation. It is told in their Bible when Lord Yahweh ordered them to enter the Land of Canaanite - led by Josiah in the Book of Josiah - destruction has been made (although there are contradictions on how this infiltration occur, but let us leave it here). Maybe, they equate this to the situation that they are having right now, just that their Lord Yahweh has never made any prophet (since they deny Jesus p.b.u.h and Muhammad p.b.u.h) to lead them entering the Holy Land.

So, if a nation has been occupied, what should you do? Run away and do nothing or you fight back to gain you right? Islam has put a high value in defending country - and those who died fighting are granted martyrdom, the highest status of death one could ever had. This, the right and obligation of defending a country is what has been the motivation of fellow Palestinians to stay put and fight back. Be death the result.

So does nationalities and borders put borders in fellow Muslims' hearts too? How are we supposed to help? Should we just lament and wait for the Messiah to come and save us all and put Islam where it belongs?

I say no.

Do whatever you can to help this cause. You may not have the mean to go to Palestine and fight along side, but do pray for them - and in order for your pray to be accepted, do watch what you ear and wear, because Allah would not accept prayers from those who eat and wear from haram source. Contribute your money or energy or time to help our brothers and sisters or to educate our other brothers and sisters.

Do be consistent. Show that we are against oppression in any part of the world. Be it on Buddhist as in Tibet, or in the name of race as it was in South Africa. Islam promotes justice for all, not just for our kind. Be informed.

Do boycott - McDonald's, Starbucks. Yes, this is not as much as all the islamic nations in OPAC boycott and ban the trade of oil but that's is what we, normal people can do. It may seem little collectively but in the eyes of God, he will grant you for your effort. Until our leaders come to their senses to realize that we do have dignity and power, we do what we can.

Do build yourself, and build the selves around you. Victory is near, and this is the promise of Allah but have we truly deserve it? Join usrah or any other means that you feel can bring the collective amount of people, be it Muslims or Non-Muslims to principle of justice and mercy. Isn't Prophet Muhammad and his message i.e Islam is the mercy to the universe?

Lastly, again do pray. People might think that invocation no longer help. What we need is strong Islamic political interference and sturdy economic control - but pray is the obligation to God. Showing that we, regardless of our free will and effort, we still face Him and hope and ask from Him the Al-Samad, the absolute.

Life is fragile. In a way, our brothers and sisters in Palestine are fortunate, they die with heaven waiting upon their martyrdom.

We? What do we have?

Saturday, October 13, 2012

Cintanya Cinta

"Apa yang kautahu tentang cinta Arif?"

Soalan itu, tujuh tahun lepas. Daripada wanita itulah. Wanita yang matanya hening bak persih suria di kala terbit. Wanita yang kalamnya dalam dan panjang cetusannya, bak sungai Nil yang terkadang bergelora merobak jiwa. Tetapi selalunya tenteram penyejuk lara.

Wanita itulah. Tujuh tahun lepas, gurauan jadi igauan. Gara-gara tidak tegar menahan bahana mulut si mulut becok Azmi, kau berseloroh, "Ya, aku cintakan Liyana. Dia itu suria terbit, masakan tidak cinta!" Tidak pula kautahu, Liyana yang matanya hening itu di belakangmu.

Dalam diam dia laju berlalu, dan dalam gugup kau tertunduk malu.

Tujuh tahun lepas, Liyana menulis kepadamu (dia terlalu bermaruah untuk bersemuka denganmu kaukira).

"Apa kautahu tentang cinta Arif? Jika cinta itu padamu hanyalah perasaan dikongsi antara dua jantina, atau jambatan perhubungan dua insan. Cinta tidak perlukan suara, Arif. Aku tolak cintamu. Aku tolak cintamu Arif. Kau harus ketemukan cinta"

Itu mungkin kali terakhir kauberkomunikasi dengannya. Tujuh tahun kaumencorak hala, kini takdir tuhan meletakkan kau di persimpangan, ada takdir insani yang akan bertembung!

"Jauh lagi Bos?" Ali Uthman bertanya kepada engkau. Pemandu kau yang setia itu memecah sepi perjalanan yang kanan kirinya hanya pasir luas terbentang. Kata Ali, ibunya syiah dari Iraq dan ayahnya dari Mesir. Mereka berkahwin atas dasar cinta dan toleransi - untuk itu ibunya bilang, dinamakannya Ali Uthman. Supaya, pesan ibunya, saat dia terikut-ikut kerabat ibunya mencerca sahabat ingatlah bahawa namanya itu dari nama sahabat Baginda! Kata Ali, ibunya berpesan, jalannya ada dua - melampau atau sederhana. Bukankah umat ini perlu menjadi umat wasata - dalam ayat pertengahan surah al-Baqarah lagi.

"Aku kira sudah dekat, Ali Uthman.  Biarku semak GPS. Kau penat? Mahu bertukar tugas?" Kau bertanya. Ali hanya menggeleng, sambil tersenyum.

Kaumenyandarkan kepala lagi. Ah. Wanita itulah, saat kini kau mendengarnya bertapak di negara pertembungan ini. Negara Musa dan Firaun. Kau dengar-dengar (kali ini kauberterimakasih kepada Azmi si mulut becok yang sampaikan berita itu kepada engkau) Liyana sudah bertukar arah. "Dia dah lain, Rif", pesan Azmi kepadamu.

Kebetulan kau di Mesir ditugaskan universiti untuk mengkaji struktur hidrogeologi di sungai budi - sungai yang menampung tamadun zaman-berzaman. Kesempatan kauambil - untuk kau menjelaskan sesuatu yang tidak terjelas tujuh tahun lampau.

"Di sini tempatnya, Ariff. Aku pelik kenapa kaumahu ke sini? Bukankah kau anti simbolisme bodoh ini. Katakau dahulu kita sudah punya Tuhan yang maha Agung - yang dia sendiri perihalkan dirinya dalam al-ikhlas. Bahawa dia ialah Tuhan yang Esa, Tuhan As-Samad,Tuhan.... "

Jujur, kau tidak ambil pusing kata-kata Ali Uthman - ya kau pernah sebut itu kepadanya, dan kau masih ingat lagi. Kata-kata Ali hilang berbalam-balam dalam tumpuan engkau mecari kelibat yang satu.

Kelibat wanita itulah.

Saat matahari mula menyondong malu menerjah horizon, kelibat wanita itu muncul dalam penglihatan kau. Jilbab hitam yang dipakainya kencang ditiup angin padang pasir.

Ah, itu dia suriaku. Walau separuh mukanya ditutup, tidak susah untukmu mengenal susuk wajah asia  - dan mata hening suria timur itu terserlah terang dalam kalangan pelancong-pelancong barat.

Jantung engkau berdegup pantas, mendetak-detak dadamu yang bidang. Hutang tujuh tahun akan terbalas.

Kau menghampiri wanita berjilbab hitam itu, lantas memberi salam. Terkontang-kanting Ali Uthman mengekorimu dari belakang.

Matahari dari jihat barat itu semakin condong mengundur diri dan engkau semakin mampir ke hadapan.

"Assalamualaikum, Liyana,"

Tiada respon. Hampir dua puluh saat kau menunggu, sebelum gadis itu mula berbicara, "waalaikumussalam, Arif."

Kaget.

"Kaudatang untuk beritahu apa makna cinta kepadaku? Persoalan yang kauhutang tujuh tahun lepas?"

"errr, " kautahu bukan itu kau datang, kau mahu pohon maaf atas salah faham yang kautimbulkan tujuh tahun lepas.

"Apa makna cinta kepadamu?" Liyana bersuara dingin.

Engkau bungkam. Argh. Persetankan tujuh tahun lepas. Kau ada hutang untuk kautebuskan. Cinta bagimu bukan secetek yang disangkakan.

Kautersenyum - hakikatnya kau cuba-cuba sembunyikan rasa gemuruh yang bergelintar dalam pembuluh darahmu, "Indah bukan monumen ini."

Liyana, tanpa memandangmu, bersuara, "Monumen di Dar el Bahr ini memang unik. Dibina oleh Hatsepshut, seorang firaun perempuan yang katanya, menggantikan anaknya yang masih belum cukup umur tetapi tetap tidak menyerahkan apabila anaknya Thutmoses III cukup umur,"

Kauperasan Liyana tertunduk dan mungkin tergelak. Masakan kautahu daripada jilbabnya yang menutup separuh muka. Dia tergelak untuk perkara yang engkau tidak pasti kerelevanannya. Kau memutarkan pandanganmu ke segenap ruangan. Ruang legarnya yang terbuka luas, satah condong yang mebawa dari ruang legarnya ke tingkat dewan. Langit senja yang merangkak masuk itu, memantulkan cahaya saga merah yang anggun, tertampak pada permukaan perang pasir kuil tersebut.

"Oh ya. Thutmoses bijak. Dia tahu membina piramid-piramid seperti nenek moyangnya membazir - dan mengundang pencuri. Lalu dia bina kuil yang cantik ini, jauh daripada tumpuan kerana cintanya. Cinta yang mendalam akan masa kematiannya. Walaupun ia mungkin kedengaran bodoh, daripada sarwapandang islam - tetapi ini simbol cinta, atau mungkin obsesi. Dan cinta, Arif, ialah fitrah manusia, mereka mahu mencintai, dan berkorban untuk yang dicintai,"

Sungguh kauterkejut. Tidak kaupernah menyangka Liyana akan menyentuh perihal itu, "Tetapi ini bukan simbol cinta Liyana. Cinta tidak perlukan suara, seperti katamu dulu. Cinta perlukan rasa, dan bumi ini juga menjadi saksinya. Kaukenal Asiah, atau mungkin dalam sejarah namanya Isitrofit. Isteri kepada firaun kejam Ramses II. Beliau mati dirantai kaki dan tangannya oleh suaminya sendiri. Dia lemah, tidak mampu bersuara - tetapi cintanya melebihi segala Liyana. Cinta yang tidak bersuara kepada Tuhannya - Tuhan yang dikenal melalui anak asuhannya Musa alaihissalam, bukan si suaminya yang bongkak mengaku Tuhan! Atau Sumayyah, wanita pertama yang syahid, bukan malah dialah umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasalam yang pertama syahid!"

Kausaksikan Liyana hanya kaku memandang ke bawah, lelaki di belakangnya, separuh abad atau lebih mungkin, seolah-olah tertarik dengan hujahmu.

"Cinta, bagimu Arif, perlukan rasa? Cinta kepada Tuhan sahaja? Bagaimana manusia?" Suara halus itu bergema lagi, dalam lantun-lantun dewan berseli tiang yang dibina 3000 tahun lepas.

"Kenapa harus dipisahkan cinta Liyana. Cinta yang kita ada ini serpihan daripada cinta Tuhan. Cinta didorong percaya, cinta merelakan pengorbanan.

Aku rasa kautahu ayat cinta, err, ayat mengurus cinta barangkali lebih tepat, yang Allah turunkan dalam al-Baqarah ayat 221. Di situ Allah tetapkan bahawa tidak boleh mengahwini perempuan atau lelaki musyrik dan hamba yang beriman lebih baik untuk dikahwini berbanding mereka. Tetapi Liyana, aku tertarik kepada penghujung ayat, Allah berfirman, 'Mereka - orang musyrik - mengajak kepada neraka dan Allah menyeru kepada maghfirah (kemaafan) dan syurga.'

Maghfirah dan syurga, Liyana, aku kira, begitulah makna cinta bagiku, seperti Allah mahukan itu untuk hamba-hambanya - cinta harus dituju kepada itu. Keampunan dan syurga."

Lepasan nafas yang besar kauluahkan, seolah-olah beban yang maha berat kautanggung selama ini, dilepaskan, dan sakitnya hilang serta merta. Kau saksikan Liyana - dan matanya yang hening itu bergenang dan tertunduk. Engkau serba-salah, "Ah, sudah dahulu aku runsingkan hidupnya, kini aku tumpahkan air matanya pula. Celaka ego lelakiku!"

"Nak," semena-mena lelaki separuh abad yang kausaksikan tertarik dengan pembelaan dirimu bersuara.

"Hadith Nabi yang pakcik dengar, maksudnya lebih kurang begini apabila datang lelaki yang beriman dan berakhlak jangan dikecewakan.."

"Walid..." Liyana memotong, bagai anak gadis merengek kepada ayahnya. Kini engkau sedar, lelaki separuh abad itu ayah Liyana! Serta merta, jantung engkau berdegup kencang. Engkau merasakan pora tapak tanganmu mula digenangi peluh yang tidak segan.

"Walid rasa, Walid tahu kenapa semua pinangan lelaki lain kamu tolak anakku. Kamu, tunggu lelaki ini bukan?" Liyana tertunduk tidak menjawab, dan tangannya tegas mengelus tangan ayahandanya.

Saat itu, tidak semena-mena malu datang menyinggah tanpa dijemput. Engkau tebak, pasti, Liyana pun begitu.

Liyana tunggu aku? Si mata hening ibarat suria pagi menungguku? Masakan sang suria menunggu lelaki sepertiku. Suria akan terus bersinar dan terbit, memberi harapanku. Dan suria ini tidak mahu terbit kerana menungguku?

"Nak, siapa namamu, Arif bukan?

"Arif Rasyid,"

"Arif Rasyid, sudikah kamu menerima anak pakcik Liyana Shamsiah untukmu?"

Allah, kau tertunduk melutut. Kakimu lemah, dan dalam perasaan berbaur itu engkau bersujud syukur, atau memohon petunjuk - engkau kurang pasti. Yang engkau pasti dalam persimpangan takdir ini engkau perlukan petunjuk - dan siapakah yang lebih baik memberi petunjuk daripada Tuhan Pemilik Alam, Perencana dan Pelaksana taqdir?

Allah dan Bumi Musa menjadi saksi dalam persimpangan hidupmu Arif Rasyid!

Monday, October 8, 2012

Mati lagi

Apabila kematian datang menjemput,

apakah yang akan kaukatakan padanya?


"Terima kasih, Tuhanku sudah menungguku,"


atau,


"Berikan aku waktu lagi, persiapan bertemu Tuhanku,"

Sungguh, kematian takkan berganjak.




Menjadi hamba - kadang terlupa tugas.

Atau menjadi hamba - yang dalam peluk rindu cinta Tuhannya.



Tribut untuk junior saya yang meninggalkan dunia, tetapi yang masih hidup ini alhamdulillah terkesan dengan peninggalannya.

Allahamdulilah

Saturday, October 6, 2012

...

Wahai Tuhan.

Izinkan hati ini menggarap rasa, saat semua manusia lena dalam dendang lipatan malam.

Wahai Tuhan.

Izinkan diri ini jatuh lemah hilang dari penggantungan dunia, hanya kepada-Mu.







Wahai Tuhan,

diri ini sedar satu masa, akan ada pertemuan dengan-Mu.


Wahai Tuhan.

Ingatkan aku itu setiap masa.

“Tuhan kami Tabaraka wa Ta‘ala turun tiap-tiap malam ke langit dunia ketika tinggal satu pertiga akhir waktu malam berfirman: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu maka Aku akan mengabulkannya baginya, barangsiapa meminta kepadaKu maka Aku akan memberinya, barangsiapa memohon keampunanKu maka Aku mengampuninya.” (Hadis riwayat Bukhari)



Tuesday, October 2, 2012

Episod Musim Luruh

Dalam kelas, saya akui, saya kurang sihat kebelakangan ini. Selesema dan sakit tekak datang menyerang tanpa belas dalam luruh daun yang menguning.

Langit muram sering menumpahkan tangis mungkin meratapi hilangnya ria matahari - mungkin itu puncanya selesema ini datang. Atau mungkin ada bakteria yang menumpang singgah.

Pedulikan sebentar. Dalam kelas mungkin ada batuk-batuk saya yang disedari sedang saya menenyeh mata yang tiba-tiba kegatalan.

Saya menoleh, dan seorang wanita kaukasia, berambut sedang paras bahu tersenyum, mengeluarkan kotak tisu daripada beg galasnya, "Do you want tissue?"

"No, thanks." Saya tak pasti sama ada saya sempat tersenyum, atau sempat menunjuk wajah penuh penghargaan.

Saya takut kebaikannya itu, dibalas dengan penolakan yang saya kurang "cermat".

Duhai, bagaimanakah mahu mengejar sinar suria khilafah sedang akhlak khalifah masih belum terbit?


Friday, September 28, 2012

(Geo)Logical Justification

When I decided to change my major to Geoscience, well, I received a mixed responds.

Of course, my cool ibu and ayah - as they always be - support me and advise me to do istikharah and stuffs (which I did) and I know they will pray for me to very end. So do some of my friends.


Some of my friends think that I betray them - for some sort of reasons by dumping physics and let them suffer alone. LOL

While some think that I am too 'hype' for geoscience. Of course, geologist doesn't have a certain ring to it like physicist does.

But hey, is geology that lame?


Geology is basically about the study of the earth and rocks and rocks, and rocks. In Malaysia Geology is always specifically means oil and Gas - thanks to Petronas for being so prominent. Sounds lame? Wait, I thought of that first. I remembered being in Geosc 001 field trip staring at those all-look-similar rocks (Okay, they indeed are all similar. All are limestone but different content in different strata) *look I just throw some geologic jargon to make me look smart:P

Yeah. I sort of  having the same impression - but the lectures are interesting and so does the lab as I getting further (and painstakingly hard sometimes). The dynamism of the earth - the continents, the oceans, the volcanoes and unknown layers of the Earth's interior that we only infer from earthquakes (seismic waves), and so many secrets of the Earth are yet to be revealed. Things are not as simple as you think it is. Yes, maybe the Earth look repetitive and dull and everything but it IS NOT.

Haven't heard the cool song by Nat Geo? The world is awesome - and so does Earth.



TODAY

So today we had our field trip to an ex coal mine near Penn State. It was cloudy and a bit rainy - but this is what geologists do - we blend with nature. Okay, to cut things straight, we were doing some observations and analysis of human activities to the nature. On our way there, the Emeritus Professor Art Rose told us the impact of the building of I-99 route (where we are that time) which exposed a lithology of iron-rich rocks (in the form of pyrite which has sulfur in it) to the air. The impact was devastating as the sulfur being the runoffs, are drained to the creek nearby. This creates environmental issues. Many solutions had been provided to re-use the large amount of the rocks - as to create ramp or just dump it on the sides of the freeway. But seriously they do not solve the problem.

Then, we arrived at Pad Poe and the Professor led us to this Death Valley - and literally dead valley. There is scarcely a tree there and the soil is reddish with some green algae clustered on the surface. You can also see sulfates salt precipitated out from the water - marking as white crystals. It struck me really hard - is this what we are doing with nature?

You might think how US with her strict regulations and people recycling everywhere could have missed it? Well, this mine was started in early 50s where, according to the Professor, was relatively easy to start mining without any proper investigation on GEOLOGICAL structure of the sites.

Alas, things are getting worse and water are heavily and nastily contaminated on that site due to Acid Mining drainage (AMD). In 90s the mine has been closed but somehow the culprit gets away with it (These facts might not be true since I only recall it from the back of my head, listening to the professor)

Then we went to the Passive Treatment plan nearby, the holding pond which is the first station of where the run offs go has a pH of 2.5 to 3.0 which is heavily acidic! This is from the pond - which looked just nasty, reddish and the floor was filled with disgusting algae. Again, it struck me, what have we done?

This is just one case. Global warming, melting of the ice in the pole, ocean acidification - to list a few - are also things that we need to handle - and maybe to correct the mistakes due to our fast pace in modernity that we boast so heavenly over this century.

JUSTIFICATION

The initial purpose I changed my major was because I sick with math (read: my careless in math) and a seemingly experienced senior suggested me geoscience - also since geoscience is relatively has less calculations ,I can spend my time doing something else. So, I follow his advise. Alhamdulillah, so far, I never regret it.

Yes, I will be stranger to Large Hardron Collider (LHC), no Higgs Boson or any Boson to be found. No more indulgence in the String/M-Theory. But hey, I have the chance to study and actually save the world. I have no interest (maybe a little) to work for Oil and Gas company - maybe I'll work for the sake of industrial experience - but my true, sincere plan is to know this world better, with my knowledge and put it into use (a good one of course).

Engineers might provide technical solution, doctors might give treatment for the sake of humanity- but we geologist (well not all) provide solution and perhaps treatment to this dying mother Earth.

Yes, Sheldon Cooper call geologists "dirt people" - but this dirt, sir, actually helps you to keep yourselves away from dirt.

And Geology is not that simple - there are so many things unknown and yet to be known - that you have to go places - maybe places people will never go, like the deep pit of the ocean, maybe journey to center of the earth and pretty places like Italy (one of my professors have a pent house in Italy). And you'll know or eventually know, or at least theorize what had happened in the past, can it repeat by itself or predict some unprecedented occurrence.

It's really awesome just to think of it.

In geology, I can finally put knowledge of sciences - Physics, biology, and chemistry - into practices by observing and analyze this cool Earth - or in most cases rocks. You'll be surprised of how much we can know by studying rocks - they are like the recorder of the Earth history, waiting for human to study and take lessons from what had occurred in the fold of 4.5 billions years of Earth's History.

Studying Earth humbles me, we are only 20 000 years part of 4.5 Billion years - that is like 0.000004 of earth history - yet we do some enormous damage to this dynamic system and blessed system where every thing is kinda directed for our existence.

It is He who created for you all of that which is on the earth. Then He directed Himself to the heaven, [His being above all creation], and made them seven heavens, and He is Knowing of all things. (QS 2:29)

We do not inherit this earth, we borrow it from the future generations.

Ultimately, this world is a gift and a responsibility from God. Would you dare to ruin it?
















p/s: I may have made a fuss about not going to hard science for my grad study - and that is not an option that I am going to close. Well, we see. Maybe two masters? InsyaAllah.



Friday, September 7, 2012

Serpih

Saya serpih-serpih fikiran untuk ditulis. 













Tetapi masih belum bercantum jadi cermin yang cantik membiasa cahaya.


Serpih, terhiris kulit. Luka.


Baik didiamkan.

Allahulmustaan.

Wednesday, September 5, 2012

Yusr.

Ya Allahu Ya rabb, ya rabb, ya rabb, ya rabb.

Jangan Kautinggalkan aku, baik dalam kesenangan mahupun kesusahan.

Aku hanya hamba-Mu, yang mencari erti dalam kehidupan milik-Mu ini.










Benarlah firman Tuhanku, "sesungguhnya di sebalik kesusahan itu ada kemudahan" (94:5)


Alhamdulillah


Jadikanlah aku dalam kalangan yang sedikit. Amin.

Wednesday, August 29, 2012

Add/Drop (saya nasihatkan jangan baca)

Err, rasanya tiada yang nak ambil tahu mengenai keputusan add/drop saya untuk semeter musim luruh kali ini (baca: Fall Semester 2012).

Tetapi saya mahu tulis juga - sekadar satu peringatan bagi saya kenapa keputusan ini dibuat.



Pertengahan semester musim Bunga lepas (baca: Spring 2012), saya mendaftar empat subjek:

Chemical Geology
Physical Geology
Experimental Chemistry II
Introduction to Seismology
The Life and Thoughts of Malcolm X

Ahha! Nampak menarik bukan? Itu yang paling saya hargi belajar di negara pakcik Sam ini. Sistem yang fleksibel memungkinkan kita untuk belajar apa-apa yang kita rasa/mahu belajar. Walaupun tiga subjek lain penuh dengan kerja-kerja lab, saya gagahkan juga. Maklumlah, semangat.

***

Semester bermula. Alhamdulillah, hari isnin tiada kelas. Satu nikmat buat saya. Walaubagaimana pun, hari selasa dan khamis saya sibuk dengan marathon kelas - lapan jam berderet, dengan satu kelas terpaksa berlari-lari anak untuk sampai ke kelas 10 minit perjalanan (selang masa hanya 15 minit!)

Keraguan pada diri bermula sewaktu kelas Malcolm X - langsung tidak menepati apa yang saya sangka. Diajar oleh professor yang hanya 75% daripada butir bicaranya dapat saya tangkap dan silibus yang menekankan kepada black liberation dan nationalism, buat saya jadi kaget.

Hasilnya, saya drop dan gantikan dengan kelas Hebrew Bible: Old Testament.

Kelas Introduction to Seismology. Apa yang menariknya, kelas ini menggunakan kalkulus dengan meluas. Walau bagaimanapun, hampir separuh daripada kelas tersebut ialah penuntut grad.

Jadi, dengan desakan awal bahawa saya sudah punya tiga lab yang tersusun rapi, saya drop.

Saya akui ada sedikit racun malas yang mengalir dalam badan, dan dalam masa yang sama saya ada inside project yang perlu dijalankan secara istiqamah. Tidak mahu kedua-duanya memberi kesan kepada satu sama lain, saya berharap agar keputusan ini membantu saya dan penghidupan saya seterusnya!

Oh, membebel perkara yang tidak perlu. Pohon doanya ye sahabat!



*juga saya menanti kekosongan dalam kelas Technical Writing. Allahul musta'an!




Sayu

Dalam terik langit State College hari ini, udara sejuk merakamkan kesayuan.

Dalam mengejar matlamat yang besar, benda-benda kecil harus dilepaskan.


Dalam mengejar masa depan yang masih terbuka untuk diacu, adakah mungkin terlupa tanggungjawab masa kini yang perlu dipacu?





Saya berdoa agar segala keputusan hari ini saya, membuka peluang hari esok.



***





Friday, August 24, 2012

Aik, rindu sudah?

Belum apa-apa lagi, sudah merindui Malaysia dan manusia-manusia yang berada di dalamnya

Rindu itu selalu dicetus pada kesusahan-kesusahan yang saya alami di rantau orang ini.

Saya kalau boleh, tidak mahu menulis kesusahan-kesusahan yang saya alami.

Pertamanya blog ini bukan diari.

Keduanya tidak mahu bagi ibu dan ayah risau.



Tetapi sentiasa ada hikmah dalam kesusahan, ada kemudahan yang terselit - janji Allah dalam surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6.


***


Cuti musim panas merupakan cuti yang terbaik bagi saya. Alhamdulillah saya dikurniakan dengan keluarga dan rakan-rakan yang sentiasa menyokong. Walaupun agak kalut sedikit dalam menguruskan masa, tetapi alhamdulillah itu pengalaman yang sentiasa dikenang.

Menghubungkan silaturrahim, menuntut ilmu, menyucikan jiwa (tazkiyyatun nafs) dan juga bertaruh budi di jalan dakwah menjadi misi utama saya dan rakan-rakan sewaktu cuti ini. Moga Allah terima, dijauhkan dari penyakit hati yang menjadi penyebab amalan tertolak!

Juga al fatihah untuk ayahanda sahabat baik saya, Hatta Shafri, yang telah pergi menemui Allah.

Tetapi pasti ada pengakhirannya, 101 hari selepas menyantuni Malaysia akhirnya tiba masa untuk pulang.

Malam sebelum perjalanan, saya berdoa sebelum tidur agar Allah menemukan hikmah dalam perjalanan ini.

Kenapa? Kerana perjalanan ini sememangnya memenatkan dari Kuala Lumpur ke Los Angeles kemudian ke New York. Saya terpaksa transit di LA selama dua hari atas kesilapan saya menempah tiket.

***

Perjalanan bermula dengan kebaikan, alhamdulillah, apabila saya duduk di sebelah seorang sami tibet daripada Amerika. Setelah berkenalan, beliau, Dr. Barry Kenzin merupakan seorang yahudi dan kini menjadi doktor peribadi bagi Dalai Lama - satu fakta yang didedahkan lewat pertemuan kami.

Banyak yang saya pelajari, dan sedikit perbincangan kami mengenai Tuhan dan kosmologi, juga Malaysia serta situasi politik di Amerika (Dr Barry merupakan penyokong kuat Obama - at least a more viable candidate than Mitt Romney)
Let's Share Islam with the world!

Di akhir pertemuan saya sempat menghadiahkan beliau senaskhah terjemahan al-Quran berbahasa inggeris.

Antara nasihat yang diberikan ialah - kita hari ini terlalu memfokuskan aspek politik, ekonomi dalam agama sehingga kita lupa apa yang paling penting - iaitu hati. Memang tidak dapat dinafikan sekularisme yang melanda umat islam hari ini menjadikan kita fokus kepada aspek ritual islam sahaja tetapi cubaan untuk mensyumulkan islam juga terkadang menjadikan kita alpa dengan asas insani iaitu untuk mendidik hati. Perubahan yang dilakukan atas nama islam haruslah bersifat inside out untuk menjadikannya sustainable.

Bermula dengan akidah, kemudian bercabang kepada ranting-ranting islam yang lain.

Duhai, moga kita tidak menjadi fitnah kepada agama Allah yang suci ini!

***

Dua hari saya di LA asalnya ingin bergaul dengan penduduk islam tempatan. Saya telah menghubungi beberapa masjid melalui email tetapi malangnya tidak berbalas. Itu perancangan satu yang Allah tidak izinkan.

Kemudiannya, dua minggu sebelum saya berangkat pulang, telefon bimbit saya hilang pula - ber'tukar' hak milik sewaktu iktikaf di Masjid Negeri Shah Alam. Maka itu menjadikan urusan saya di LA amat sukar. Setelah tidak mendapat balasan daripada Islamic Societies di LA maka saya membut keputusan untuk tidur di hotel pada malam pertama dan tidur di LAX pada malam keduanya.

Tetapi, sekali lagi Allah tidak izinkan kerana demam selesema yang melanda saya sejak 2 jam sebelum tiba di transit di Narita tidak sembuh lagi maka sekali lagi duit terpaksa dikeluarkan untuk menempah hotel pada saat-saat akhir.

Berita baiknya, dengan berada di hotel saya lebih produktif. Daripada melayan rancangan TV entah apa-apa saya melunaskan tanggungjawab saya. Saya siapkan sebahagian skrip projek Komik Dakwah, update blog yang sekian lama membisu, menghafaz dan mengulang al Quran juga mengerjakan tugas saya sebagai seorang hamba kepada Tuhan sekalian Manusia. Moga Allah terima semuanya.

Segala kesusahan ini sebenarnya membuatkan saya berfikir sebenarnya. Bahawa apa yang digagaskan dalam Islam tidak akan membuatkan seseorang itu berputus asa, walau dalam apa keadaan sekalipun!

Status-status facebook saya mencerminkan apa yang bermain di minda saya!

selalunya apa-apa yang kita rancang, boleh sahaja tak menjadi, kerana urusan itu milik Allah jua. Berlapang dadalah, dan kuatkan usaha dan tawakkal agar segalanya, membuah hikmah - Biar ia jadi kifarah penebus dosa dan pengalaman penguat jiwa. Mana-manapun ia, pasti baik untuk anda! Allahul musta'an :)

Doa itu senjata bukanlah pada tajamnya, bukan juga pada jaminan tertunainya doa. Tetapi pada harapan yang diberikan - pada penggantungan terhadap Dzat yang tidak pernah berkurang, Maha Kaya, Maha Mendengar dan Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
Doa itu tidak pernah berkurang walau bukan untuk diri"Diriwayatkan dari Abu Darda’ ra., bahwasanya ia berkata, “Apabila seorang Muslim men
do’akan saudaranya tanpa sepengetahuannya, maka pasti malaikat yang ditugaskan (kepadanya) akan mengucapkan, “Engkaupun akan mendapatkan yang semisalnya”. (HR. Muslim) "

Doa juga satu kekuatan, untuk mereka yang cenderung berada dalam kesusahan:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga do’a mustajab yang tidak diragukan lagi, yaitu do’a orang yang teraniaya, do’a musafir, dan do,a orang tua untuk anaknya” (HR. Tirmidzi, dll. Dinilai hasan oleh al-Albani)

Maka berdoalah! Engkau tidak akan rugi, kerana jika ikhlas meminta, ganjaran di Akhirat pasti diberi!
Wallahua'lam.


Sungguh semoga jihad kali ini menjadi lebih bermakna, untuk saya, agama dan keluarga.

Dan sungguh saya merindukan Malaysia dan manusia yang berada di dalamnya. Allahulmusta'an!

Moga rindu ini jadi doa untuk kebaikan semua. Ana uhibbukumuLLAH!

Monday, August 20, 2012

Ramadhan, Moga kita bersua lagi!

Ramadhan berakhir lagi. Dan bagi saya, Ramadhan ini istimewa - atau sekurang-kurangnya saya berharap agar ia jadi istimewa setelah ramadhan tahun lepas banyak sedikit pergelutannya apabila baru menjejakkan kaki di bumi Pakcik Sam.

Ah, apa saya bergurau? Ramadhan itu setiap kali sama sahaja, istimewa yang sama - penuh dengan limpah rahmat dan kurnia Ilahi. Rahmat, maghfirah (keampunan) dan pelepasan daripada api neraka! Memang Allah telah menjadikan ia istimewa - dan terpulang kepada manusia (baca: kita) untuk merebut keistimewaannya.

Ya, rebutan yang pasti, sesiapa yang berusaha pasti takkan terlepas. Kalau jualan murah, pasti akan ada stok habis. Tetapi stok rahmat dan kasih sayang Allah dalam Ramadhan ini takkan habis! Oleh itu Nabi SAW yang menjadi rahmatan lil'alamin pun, yang penuh kasih sayang dan belas kasihan, mengaminkan kecelakaan bagi manusia yang telah melalui Ramadhan tetapi dosanya tidak diampunkan!

Memang celaka, segalanya dah disediakan hanya perlu sediakan hati untuk menerimanya.

Allah.

Saya sebenarnya mengalami krisis emosi. Sayu kerana Ramadhan pergi, entah mampu lagi bersua, tetapi dalam masa yang sama Idulfitri itu harus disambut dengan kegembiraan (baca:melalui tasbih dan takbir).

Allah. Moga Allah terima. Taqabbalullah minna wa minkum.






Terima kasih tidak terkira buat sahabat-sahabat yang setia mengejar lebihnya ramadhan bersama saya. Anda tahu siapa anda, dan jika tidak tahupun, doa saya sentiasa bersama anda - lagi spesel sebab anda tak tahu, saya doakan, dan doa untuk saudara muslim dalam keadaan rahsia lagi maqbulkan?

Juga doa-doa untuk saudara Muslim kita di serata dunia. Hari raya mereka pasti penuh tangisan - yang berbeda dengan tangisan kita.

Dan masjid-masjid di bawah ini, akan saya rindu dengan seluruh hati. Tempat hati mencurah pada malam 10 terakhir, moga Allah redha.

Masjid Negeri Shah Alam
Masjid Al Falah USJ 9
Masjid Asy Syakirin, KLCC
Masjid Kuarters KLIA

Sunday, July 29, 2012

Terhenti (bukan penamat)

Asyik kau berlari.

Jauh.


Credit [Sundero,Flickr]



Kau berhenti dan menoleh.
Adakalanya, perlu menoleh ke belakang supaya kaukan sentiasa maju ke hadapan.

Mencungap. Baiklah, teruskan berlari.

Monday, July 9, 2012

Busy Body

Harap-harap, sibuknya betul-betul sibuk meluangkan masa kerana Allah.

Bukan sibuk kerana gagal merancang! -Anon







Hmmmph, macam yang kedua je terpakai untuk diri.

Bertanggung sebab nak rehat. Rehat sebab bertangguh. Lama-lama kerja berkepuk.

Kena betul-betul munazzam fi syunihi nih.


Sunday, July 1, 2012

buku

Buku.

Saat ia bermakna bukan sahaja pada lenggok katanya.

Atau sarat wacananya.

Tetapi pada saat Aku berhenti membaca, dan merenung.

"Apakah buku ini telah perbuat padaKu!?"


Celik buku, buta hidup - parah.





Memang hidup itu sentiasa menuntut.


Lantaran hidup itu satu buku, yang penuh tulisannya tetapi bisa sahaja kita bebal membacanya.

Monday, June 18, 2012

Be yourself.

Macam pernah dengarkan? Iya. Ia berada di mana-mana, di dalam cerita-cerita di layar perak dan skrin TV. Ada di dalam novel-novel. Ada di dalam lagu-lagu.

Memang tak salah. Tidak salah untuk kita "menjadi" diri sendiri, menghargai penciptaan kita yang telah Allah ciptakan seperti firman-Nya dalam Al-Quran, saya petik, sebaik-baik kejadian. Alhamdulillah. Kita menerima kejadian kita seadanya. Itu ialah suatu kesyukuran dan ia positif.

Cuma yang ditakuti, sentimen ini membarah pula. Menjarah keinsafan insan yang kian lama semakin pula memudar lantaran kesyukuran ini bercambah pula menjadi keselesaan.

Akhirnya menafikan ruang perubahan.

Ramai antara kita yang terjerat dengan dilema ini. Mahunya berubah, tetapi hilang keyakinan. Ada pula yang memang tidak mahu berubah kerana terlalu yakin dengan dirinya. Untuk apa berubah jika akhirnya kita menjadi bukan "diri" sendiri?

Persoalannya ialah, untuk apakah kita di dunia? Allah yang Maha Penyayang itu membantu kita memahami dalam surah al-Mulk ayat 2, saya petik, Dia (Allah) lah yang mentaqdirkan adanya mati dan hidup (kamu) - untuk menguji dan menzahirkan keadaan kamu; siapa yang lebih baik amalannya, dan Allah berkuasa (membalas amal kamu), dan lagi Maha Pengampun.


Kata kuncinya: UJIAN. Hidup ini ujian, dan mati itu ialah pengakhirannya. Dan standard ujian, kita akan teruji (OK, itu obvious) dan dalam ujian pastinya kita akan berasa payah, gusar tanpa mengetahui dengan pasti sama ada kita berjaya menjawab ujian tersebut.

Hidup ini ujian, Allah berpesan. Maka ia datangkan kepada kita batasan-batasan, dan tidak cukup dengan itu, Allah datangkan lagi tanggungjawab-tanggungjawab kita sebagai manusia yang perlu ditunaikan.

Maka, memang wajarlah kita bersusah dalam ujian ini kan?

Tetapi tidak ramai yang sanggup. Tidak ramai juga yang menyedari hakikatnya. Segala dinding kehidupan, dibina atas penipuan keseronokan dunia. Batu-batanya dicalit dengn noda-noda sonsang akan fahamnya ia pada DUNIA.

WE LIVE ONCE. 

NO. YOU ARE DEAD WRONG.

WE LIVE TWICE.


Susah di dunia, tidak bermakna susah di akhirat bukan? Dan begitulah sebaliknya.

Sesungguhnya berjayalah orang yang - setelah menerima peringatan itu - berusaha membersihkan dirinya (dengan taat dan amal yang soleh),
Dan menyebut-nyebut dengan lidah dan hatinya akan nama Tuhannya serta mangerjakan sembahyang (dengan khusyuk).
Padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal.
(QS 87:14-17)




Hati yang Terabai











































































Hati yang terabai. 

Begini kosong jadinya. Habis amal diratah riya'.

Hanya mampu pohon pada Tuhan, agar dikuatkan.




Mahu cari gua kosong. Kadang-kadang yang kosong itu lebih mengisi hati dari dewan penuh orang.

Thursday, May 31, 2012

Ihsan di Raudhah


Cerpen ini saya tulis lama dahulu. 

         Ihsan menjejakkan kaki ke kawasan raudhah di al-haram. Ihsan tahu, Raudhah, atau raudhatul Jannah maknanya taman syurga merupakan tempat yang mustajab doanya. Tempat kegemaran Nabi SAW dan para sahabat berkumpul mencari ilmu dan cinta Rabb mereka. Ihsan membaca doa, dan melangkahkan kaki kirinya pula. Dia menghirup udara dan nafas pengorbanan junjungan besarnya dan sebaik-baik generasi. Dia terus melangkah, menyoroti ruang sebesar dua puluh meter kali enam belas meter. Berderap kakinya tatkala melangkah di atas permaidani kelabu yang membezakan kawasan itu dengan kawasan masjid Nabawi yang lain.

          Ihsan berdiri menghadap mimbar yang suatu masa dahulu Nabi Muhammad pernah berdiri di atasnya, membina akidah dan taqwa. Hasilnya, haramain menjadi simbol bumi merdeka yang absolut, merdeka daripada perhambaan sesama manusia dan daripada penyerahan kepada nafsu dan dunia beralih kepada sumber cinta setiap makhluk yakni Tuhannya, Allahurabbi.
                
           Dia mengangkat takbir, memulakan solat sunat. Suaranya melantun dalam ruang itu. Bacaannya bergema melewati setiap tiang dan rongga dalam ruang itu.
                
           Usai memberi salam, Ihsan memandang sekeliling. Ganjil. Malam itu tiada sesiapa di situ. Malah, syurtah yang sepatutnya bertugas jua tidak kelihatan mengitari masjid yang mulia itu.

Ganjil. Itu kali pertama Ihsan menziarahi raudhah tetapi dia merasakan bagai sudah beribu kali dia menjejakkan kaki ke situ. Rasa rindunya muncul, sedangkan rindu itu hanya akan wujud jika kita pernah mengalaminya. Ihsan duduk berteleku, menghabiskan zikir.

Malam itu sungguh nyaman – musim siangnya bahang dicengkam suhu musim panas, jadi malamlah masa yang terbaik untuk memusatkan ibadah untuk Pemilik Tanah Suci Allah Ar-Rahman Ar-Rahim.
                
Ihsan memanjatkan doa.

“Kausedarkah kauberada di mana? Kau berada dalam ruang Insan dan generasi terbaik. Yang setiap hembus nafasnya diabadikan kepada Tuhannya dalam episod mencari redha-Nya. Kausedarkah? Apa yang perbuat yang menyamai pengorbanan mereka? Atau kaulupa?”
                
Ihsan tersentak dengan gumam hatinya. Dia jadi diam. Air mata mula bergenang di kelopak matanya yang sedari awal tertutup. Dia menekupkan muka dengan tapak tangannya.

“Jangan kauberi dalih lagi. Ya, mungkin zamanmu asing berbanding zaman mereka. Kaurenung pula nasib saudara-saudara seakidahmu yang menderita di Palestin, Kashmir, hatta yang amat dekat dengan kampung halamanmu, Pattani. Mereka berjuang – mempertahankan apa-apa yang mereka percaya. Kau? Kau tenggelam dalam keseronokan. Masa dan keadaan menjadi alasan utuh untuk kaumemeluk tubuh. Fikirkanlah. Fikirkan. Bandingkan dirimu dengan saudara-saudaramu yang lain. Adakah kaulayak bergelar ikhwan yang Nabimu itu rindukan? Termasukkah engkau?”

                Deru tangis Ihsan bertambah kuat. Teresak-esak sampai tubuh dan tangannya turut menggeletar.

“Sudah. Sudahlah pengorbananmu dangkal. Bagaimanapula dengan dosa-dosamu yang belum larut oleh taubat nasuha? Dosa-dosamu yang bertitik di pangkal hatimu, menghijab cahaya tuhan daripada hidupmu. Ah, cukup sucikah engkau untuk berada di ruangan taman syurga ini Ihsan? Sucikah?”

                Ihsan tersentap. Sekonyong-konyong, dalam esak tangis, dia gugah dan dengan lutut, dia meyeret mundur ke belakang. Sedikit demi sedikit dia ke belakang sehingga dia tiba di pintu masuknya semula. Dari jauh, Ihsan menatap mimbar Nabi. Dia jadi malu, malu yang teramat bagai wajahnya dilumuri tahi. Dia, kini menghadap salah satu tempat kegemaran Nabi, tetapi usahanya untuk memperjuangkan apa yang nabi perjuangkan tidak pernah menyaingi.

                “Allah. Kau sudah jadi alpa kerana kebendaan Ihsan. Kadangkala kauingat kaulah juara dalam mempertahankan hukum Tuhan – tetapi dalam usahamu itu ada cela-cela riak yang lahap meratah amalanmu. Ihsan, bersediakah engkau jika saat ini Tuhan memutuskan untuk menjemput ke Barzakh? Ihsan, jawab!”

                Esak tangis Ihsan bertambah-tambah lagi. Satu demi satu imbasan kelakuannya bermain di mata. Ihsan menangis tersedu-sedu. Tangannya basah menakung titis mata yang mengharapkan keampunan Tuhan-Nya. Akhirnya, dia membuka lapis bibirnya yang terketar-ketar,

 “Ya Allah, kautahu akan keadaan hamba-Mu ini, malah lebih daripada apa yang aku sendiri ketahui. Ya Allah, cubaan demi cubaan dalam bentuk kesenangan banyak, sungguh banyak mencederakan ruh pemberianmu Ya Tuhan. Aku jadi lesu dengan segala kesenangan dan kemaksiatan. Y a Allah, ampunkanlah dosaku, besarkanlah jiwaku seperti besarnya Nabi-Mu Ibrahim menerima ujian dan perintah darimu. Seperti besarnya jiwa ibu-ibu para syuhada’ tatkala menerima berita akan kesyahidan anaknya. Ya Allah, janganlah kaubiarkan urusan aku ditentukan melainkan dengan petunjuk dan cahaya daripada Engkau Ya Allah. Ya Allah, ampunkanlah dosa-dosaku, kuatkanlah keazamanku untuk bangkit daripada zulumat yang mengcengkam. Ya Allah, kaumuliakanlah umat islam, dengan Islam yang mulia. Ya Allah. Bacalah isi hatiku, nilaikanlah keikhlasanku Ya Allah. Izinkan aku peroleh cinta-Mu yang suci lagi mulia. Allahu, Allahu, Allahu”
                Tiba-tiba, Ihsan merasakan satu kehadiran.

                Kehadiran yang mulia.

“Salam ‘alaik...”

Ihsan terjaga daripada lena. Dia beristighfar dan menguis peluh yang merenik di dahinya. Dia melihat jam dari skrin telefon bimbitnya. 2.45 am. Masih ada masa lagi sebelum subuh menjengah.

Suara lelaki yang didengari dalam mimpinya tadi buat dia jadi kuat melawan kesejukan New Jersey yang mencucuk-cucuk pedih.

Malam itu, Ihsan tenggelam dalam keasyikan – kepada Tuhannya, kepada Rasulnya.

Thursday, May 17, 2012

Kekeliruan yang membarah.

Belajar Islam dalam kelas Quran dan Muhammad kepada seorang professor yang bukan muslim, memberikan peluang kepada saya untuk melihat dunia islam dalam cara yang berbeza.

Iaitu mudah - bukan semua melihat Islam dengan cara yang sama!

Kita mungkin berang apabila ada yang melihat islam sebagai pengganas dan sebagainya, ataupun sekadar agama ritual, atau pun melihat Nabi Muhammad sebagai penguasa dan pengamal undang-undang yang cemerlang - mereka punya hak untuk itu berdasarkan informasi yang mereka peroleh dan analisis (atau pilih - ini dinamakan selective interpretation).


Jadi soalan emas bernilai satu juta ringgit ialah - siapa yang berhak untuk menonjolkan kecemerlangan islam serta kesempurnaannya sebagai ad-Din yang Allah redha?

Sayalah, dan mungkin awak serta mereka yang mengucap dua kalimah syahadah - berpungguk atas empat tiang rukun islamnya yang lain dan bergantung pada enam tiang rukun imannya.

Kitalah yang wajib mempamerkannya - Syahadatul Haq seperti yang dilontarkan oleh Syeikh Abul A'la al-Maududi.


Irshad Manji - Produk Kekeliruan Islam


Menurut wikipedia.com, Irshad Manji lahir dalam keluarga Islam dan membesar di Canada. Selain terang-terangan mengakui seksual orientasinya, Irshad Manji mengaku dia masih Islam. Walau tidak solat, setiap hari dia bangun pagi, dia akan bersyukur kepada Allah kerana masih hidup.

Penulis kepada dua buku yang fenomenal di Barat dengan tajuk - The Trouble with Islam Today dan Allah, Liberty and Love tegar mengkritik islam tradisional, malah apabila ditanya kenapa programnya di Monash dibuat ketika waktu solat Jumaat, dia menjawab di twitter bahawa solat jumaat itu man-made.


Dengan pernyataan yang saya buat, senanglah untuk kita memutuskan, "MasyaAllah, dia ini jauh tersesat. Boleh jatuh hukum Kaafir," atau, "Dahlah lesbian, kaum nabi Lut - mahu soal perihal agama pula"

Klimaksnya, "Oh, dia mesti ditentang! Tidak boleh bagi ceramah di Malaysia"

Bukanlah saya tidak setuju - malah saya lega apabila banyak NGO telah bersatu dan membuat laporan polis ke atas Irshad Manji atas dakwaan menyebar liberalisme dan homoseksualiti.

Cuma suara yang disenyapkan, bukankah akan lebih bergema di alam virtual ini?

Dalam wikipedia.com dan juga blog rasminya, Irshad Manji dikhabarkan cemerlang dalam suasana pendidikan sekular tetapi dibuang daripada sekolah agama kerana asking too many questions. 


Saya bayangkan ini cara fikirnya, bayangan saya sahaja, boleh jadi salah boleh jadi betul. Ya, persoalannya yang tidak terjawab itu digagaskan sendiri jawapannya, mungkin berpunca daripada pandangannya yang serong terhadap institusi islam itu sendiri atau mungkin pengalaman-pengalaman mengamalkan islam di barat yang amat mengagungkan humanisme.


Credit


Dia terperangkap dalam ketegangan antara perintah Allah dan kehendak diri dan masyrakat sekelilingnya. Dia cari keharmonian, dan dia ketemu ijtihad - satu reformasi, satu cara fikir yang baru untuk menilai Islam semula. Dia seru manusia kepada Allah dan Islam dengan cara dan nafas baharu!

Malangnya dia buat itu mengikut acuan barat. Tanpa bimbingan.

Barat memujinya, dan dunia Islam yang dia gelar tradisional mencemuhnya. Akhirnya, dia fikir dia on the right track kerana apalah erti perjuangan tanpa tentangan. Perjuangan itu selalunya di pihak minoriti. Sedang dia lupa, benar atau batil pada perjuangan bukanlah pada tentangan, tidak pula pada minoriti atau majoriti. Perjuangan yang benar itu ialah seruan kepada Allah dan Islam - satu liberasi kepada perhambaan kepada Allah dengan cara yang Allah kehendaki melalui tunjuk ajar junjungan tercinta Muhammad SAW!

Credit
Sekali lagi saya ingatkan, ini cuma anggapan saya kepada fikrah perjuangan Irshad Manji dan golongan yang bersekutu dengannya.

Mereka sayangkan identiti Islam mereka - dan cari jalan, walau bersimpang siur manapun - untuk mengharmonikannya dengan seisi dunia yang lain.

God created Aql (thought, thinking capacity) why should he be afraid of it?

Kerana itulah, bagi saya sekadar penguatkuasaan undang-undang tidak cukup. Jeritan batin liberal pasti akan berkumandang di sana sini, lihatlah Malaysia. Walau kita cuba itu dan ini, suara-suara liberal pasti kedengaran sana sini - entah-entah jumlahnya semakin bertambah, dan semakin berani pula walau ditentang. LGBT, Seksualiti Merdeka, kebebasan beragama dan sebagainya. Maaf saya tidak punya sebarang figura, tetapi ini boleh dilihat melalui trend semasa.

Oleh itu, Malaysia harus keluar dari kepompong penguatkuasaan undang-undang dan bertarung dalam gagasan ilmu juga! Kita selalu suka ceramah yang riang ria dengan lawak, soal-soal fiqh yang tidak berkesudahan. Kini tiba masa kita mengkaji Islam dalam sfera yang lebih luas. Letak duduknya dalam dunia moden.

Saya tidak pernah membaca karya Irshad - tetapi dia kini sudah punya dua buku, sebuah rancangan dokumentari "Faith without Fear" yang dicalonkan untuk anugerah Emmy. Bukunya yang pertama, yang diterbitkan selepas 9/11 mendapat pujian barat, dan juga dia diketengahkan sebagai "Osama bin Laden's worst nightmare"! Sedang sedikit pula mereka tahu bahawa kedua-duanya, Irshad dan Osama, boleh saya kategorikan sebagai dua polemicist pada dua cabang continuum yang berbeza.

Bagaimana pula dengan kita yang menentang Irshad? Adakah buku yang dikeluarkan untuk membidas hujah-hujah yang Irsad keluarkan? Atau dokumentari sebagai counter-argument? Benar kita hanya tahu menghukum sedangkan ilmu itu harus dibidas dengan ilmu juga.

Barah Senyap yang Terus Membawa Padah

Kekeliruan ini akan terus membarah kerana kita cuba untuk menutup simptomnya sedangkan persoalan-persoalan besar mengenai kekalutan Islam dan dunia moden masa kini banyak yang tidak terjawab. Saya yakin ada buku di luar sana yang mengetengahkan perkara ini - tetapi malang apabila kita hanya mengetengahkan Irshad Manji tanpa memberikan hujah balas, buku apa atau siapa yang boleh membalas hujan Irshad dengan berkesan.

Saya juga sedih kerana saya juga kurang bacaan mengenai isu ini.

Tahu apa kesannya? Sama seperti 9/11 yang mengetengahkan keburukan dan keganasan Islam mendorong ramai untuk mengkaji dan akhirnya terjumpa sisi benar dalam Islam yang tidak tercemar oleh kegagalan institusi Islam.

Setelah 9/11, Irshad mungkin begitu juga. Ramai yang akan membaca karya Irshad untuk memenuhi rasa ingin tahu mereka - dan persoalan-persoalan yang tidak terjawab oleh Irshad suatu masa dahulu dikongsi bersama dan dipandu jawapannya melalui karya beliau. Kekeliruan ini terus membarah, dan mengelirukan pihak yang selama ini mencari jawapan yang tidak ketemu.

Benarlah kekeliruan ini membarah!

p/s: Sewaktu saya menulis ini saya sedang mencari video-video debat di Youtube berkaitan Irshad Manji. Tetapi dengan kelajuan internet yang semput-semput saya harus sabar lagi menanti. InsyaAllah jika selesai menonton semuanya, akan saya pamerkan link di entri ini.

pp/s: Saya jumpa bacaan yang menarik, The Trouble with Irshad Manji :)
Wallahua'alam

Ya Allah, Tunjukkanlah kami yang haq itu haq, dan kurniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang batil itu batil dan kurniakanlah kami untuk menjauhinya. 

Friday, May 11, 2012

Mr Happy, nice meeting you!


Saya tiba di LAX dalam jam 10, Pacific time – maknanya kalau waktu di State College sudah pukul 1 pagi. Rancangan asalnya ialah untuk bermalam sahaja di LAX, memandangkan penerbangan dijadualkan jam 11 pagi esok.

Tapi saya salah. Penerbangan ialah pada pukul 4 petang. Maka bermulalah episod keseorangan saya – seperti mana di JFK dahulu. Cuma sekurang-kurangnya saya ada juga sahabat yang menemani di JFK sehinggalah penerbangan mereka.

Perjalan dari JFK ke LAX Alhamdulillah lancar tanpa sebarang masalah – hanya sedikit lewat kerana kesesakan di JFK tetapi tetap kami tiba pada masanya. Sudah hampir satu hari saya hanya tidur di bangku keras JFK dan kerusi kapal terbang. Malam tadi, setelah mengetahui penerbangan saya hanya dijadualkan pada pukul 4, bukan 11; saya jadi resah.

Setelah berlegar-legar, saya buat keputusan untuk bermalam di hotel. Untunglah di LAX mereka sediakan satu database computer untuk penginapan sekitar LA dan boleh menghubungi mereka terus dari computer secara percuma. Satu demi satu hotel saya hubungi – jawapannya sama ada kadar yang terlalu mahal atau bilik penuh.

Sehinggalah saya menghubungi Travelodge, mereka punya bilik yang boleh dinginap - $85 semalaman. “Good enough,” kata saya pada operator hotel. Shuttle secara percuma dihantar – dan di sinilah kisah pertemuan saya dengan Happy.

What is your name?” tanya Happy.

Muhammad,” saya jawab.

Muhammad? Where are you from?

“Malaysia.”

So have you reserved the hotel, give you credit card number and all?

Yes, sort of – but I didn’t give any credit card though. He just took down my name, can I go in back and call the hotel again. I don’t have any phone right now,” sebenarnya saya dah sudah gantung perkhidmatan telefon saya memandangkan saya akan pulang ke Malaysia untuk hampir empat bulan.

In case of that, you haven’t reserved. You have two options. I can send you there, or, I’ll help you find a cheaper hotel.”

Saya terkesima. Baiknya.

Dalam perjalanan, kami berborak. Dia bertanya mengenai KLCC, dan bercerita mengenai lawatannya ke Malaysia, Singapura, Indonesia dan Thailand.

“Wow, even me haven’t been to all those places,”

Dia seolah-olah terkejut.

Asalnya saya suspek bahawa dia dari Jemaah tabligh – atas semangat ikramnya yang amat tinggi. Kemudian saya perasan satu lencana di dalam vannya – Happy Annivesary of Guru Nanak.

Gulp. Saya menelan air liur. Orang sikh agaknya. Sangkaan saya dibenarkan apabila dia memberitahu nama panggilannya ialah Happy dan nama sebenarnya ialah Govinder Singh. Sah orang sikh! Perjalanan ke hotel yang baru sebenarnya di satu arah yang lain, jadi setelah menghantar penumpang lain ke hotel Travelodge, kami pergi ke jalan yang lain pula. Jalannya agak gelap. Kurang kereta.

Saya jadi takut. Sudahlah saya beritahunya yang saya punya kad debit, dan tiada telefon. Tetapi dalam perjalanan saya teringat pula, dia menelefon hotel yang baru bertanyakan kadar. Saya jadi tenang semula.

Dan dia amat peramah.

Kemudian saya teringat bahawa dalam lipatan sejarah Sikhism dan Islam bukanlah "teman tapi mesra" – banyak sejarah hitamnya. Tambah lagi Happy asal dari India. Saya tidak henti-henti membaca ayatul-Qursi, mohon perlindungan.

Akhirnya kami tiba di Hotel tanpa sebarang ancaman. Saya jadi malu dengan sangkaan buruk yang bukan-bukan. Allah, malunya. Dia ikhlas menolong, walau apa pun motifnya. Entahlah mungkin orang Malaysia melayannya dengan baik sewaktu di Malaysia, wallahua’lam.

Saya memberikan tips yang agak lumayan, walaupun dia pada awalnya menolak. “You have been very kind to me. Please accept it.” kata saya.. sebabnya itu, dan juga saya malu dengan sangkaan buruk saya.

Akhirnya malam itu saya bermalam di hotel single room, tapi agak luas dan punya ruang tamu. Seronok.

Kepenatan, saya tidur – dengan ingatan, kebaikan manusia itu memang ajaib. Sangat ajaib!